Friday, December 31, 2010

H.O.RE Dari Temen Ke Temen oleh Harlan Boer

DARI TEMEN KE TEMEN

Di tahun 2010, ada acara musik yang membuat saya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Itu perhelatan kecil-kecilan. Namanya: H.O.RE. Tapi, penggagas acara ini, jelas bukan "orang biasa", cewek ini mah memang sudah "bau sound". Eunice Nuh kembali lagi!

Kalau tidak salah, pertama kali saya mengenal Eunice di acara bertajuk "Six to Six" pada 2002. Saya ingat, selesai briefing untuk persiapan acara tersebut, saya diajak Eunice ke BB's, di kawasan Menteng (kalau tidak salah, Eunice mendapat referensi tempat itu dari Indra Ameng dan Jimi Multhazam). Dan pada 2003 hingga 2004, meletuslah sesuatu yang sangat berharga: band-band baru (beberapa berwajah "lama") bergantian bermain di BB's dengan musik-musik yang habat luar biasa! Tidak ada nama-nama "mapan' seperti Naif atau rumahsakit (mungkin band tertua yang pernah main di BB's adalah Fabel, Vessel, dan Bandempo), di sinilah pertunjukkan-pertunjukkan awal dari band-band baru di antaranya The Upstairs, The Brandals, Seringai, Teenage Death Star, White Shoes & The Couples Company, The Sastro, Sugarstar, dan banyak lagi. Juga aksi-aksi DJ kapiran yang memutar "lagu-lagu kebangsaan". Kadang ada pesta peluncuran album, sampai acara bertema pernikahan.

Apa yang terjadi di BB's, perhelatan rutin yang sungguh sederhana dan ala kadarnya, itu bukan main. Kanal gairah! Sulit dijelaskan, tapi terlalu mudah untuk dirasakan. Malam-malam di BB's adalah masa depan.

Setelah keriaan itu berakhir pada 2004, saya masih sesekali bertemu Eunice. Ngobrol-ngobrol. Kerja. Ngobrol-ngobrol lagi. Makan. Nonton acara musik. Makan lagi. Intinya, Eunice sesekali masih "berkeliaran" di sekitar teman-teman yang dahulu sering bertemu di BB's. Tapi, apa yang dibuatnya bersama kakak dan adiknya kali ini, sebuah serial acara musik yang sudah dilakukan 4 kali sepanjang 2010, acara yang bertajuk H.O.RE, adalah kehadiran Eunice dalam wujudnya yang paling khas: "bau sound".

H.O.RE sudah tentu adalah "sesuatu". Seperti juga era 2003-2004 di BB's, perhelatan di sini adalah hal- hal ini: perjumpaan dengan teman lama dan baru, perjumpaan dengan band-band keren, tempat peluncuran album rekaman, tempat perayaan apa saja, dan malam-malam yang enak.

Terimakasih untuk H.O.RE yang telah membuat "sesuatu" telah terjadi lagi. Saya tidak bisa terlalu memikirkan tulisan ini lagi, harus jemput istri dan anak di supermarket, barusan SMS. Kita bertemu lagi saja di H.O.RE berikutnya.

Thank you!

Salam,
Harlan Boer

Sunday, December 19, 2010

Liputan dari www.rollingstone.co.id Mini Konser 9th The Upstairs

The Upstairs (bintang empat loh!)
Oleh : Reno Nismara

Bagi kalian yang menganggap bahwa The Upstairs sedang diselimuti berbagai macam permasalahan yang tak kunjung usai, kalian salah besar. Bagi kalian yang meramalkan bahwa bubarnya The Upstairs hanya tinggal menunggu waktu, kalian salah besar. Bagi kalian yang tidak menyaksikan Mini Konser 9 Tahun The Upstairs persembahan House of Revelation (H.O.RE) dan Jangan Marah Records pada hari Minggu (12/12) lalu di Eastern Promise, Kemang, kalian rugi besar.

Dengan opening act dari Backalley dan Dikeroyok Wanita, yang malam itu mengenakan pakaian seragam baju hitam polos dan celana pendek berwarna merah, The Upstairs tampil memukau dengan menggeber 27 lagu yang semuanya tersebar di seluruh album yang pernah mereka rilis. Alhasil, para Modern Darlings, sebutan untuk para fans The Upstairs, yang datang pun bisa tersenyum puas setelah melihat aksi para idolanya di atas panggung selama 2 jam 15 menit non-stop tanpa istirahat.

Layaknya sebuah intro, sebuah film dokumenter yang disutradarai oleh Andre “Kubil” Idris, yang juga merupakan gitaris The Upstairs, mengenai metamorfosis The Upstairs dari masa ke masa sempat diputar sebelum pasukan inti band fenomenal ini menampakkan diri mereka di atas panggung. Penonton pun langsung menghadapkan tubuh mereka ke sebuah layar besar yang diletakkan di bagian kiri venue untuk menyaksikan dokumenter yang sederhana tersebut.

Tidak lama setelah film dokumenter tersebut selesai ditayangkan, Andre “Kubil” Idris (gitar) dan Beni Adhiantoro (drum) pun menaiki panggung. Dua wajah yang sedikit asing menyusul naik. Dua orang tersebut masing-masing bernama Pandu Fathoni (additional bass), juga gitaris The Porno dan Morfem, dan Krishna Visco (additional keyboardist). Para penonton pun bersorak-sorai seraya berjalan mendekati panggung agar mereka bisa menyaksikan idola mereka dari jarak dekat.

Tanpa basa basi, intro dari “Cosmic G Spot” pun menghentak dan secara instan menyihir Modern Darlings untuk sesegera mungkin melakukan dansa resah. Penonton semakin menggila ketika Jimi “Danger” Multhazam (vokal) turut naik ke atas panggung dan membakar semangat para penonton dengan liukan tubuhnya yang memiliki ciri khas tersendiri.

Jahit menjahit lagu terjadi pada bagian awal mini konser ini. Tidak tanggung-tanggung, “Cosmic G Spot”, “Hanya Aku, Musik, dan Lantai”, “Anarki”, “Gadis Gangster, “Apakah Aku Berada Di Mars Atau Mereka Mengundang Orang Mars” dimainkan secara medley dengan tingkat keatraktifan yang tinggi. Tidak heran jika banyak orang di antara kerumunan penonton menganga karena kekaguman mereka terhadap pembukaan yang spektakuler.

Sang frontman kharismatik ahli tata bahasa, Jimi Multhazam, pertama kali mengeluarkan celotehan khasnya seusai medley tersebut. Celotehan perdananya pada malam itu bercerita mengenai bagaimana situs social networking dapat membantu The Upstairs dalam mempromosikan mini konser tersebut. Sebelum akhirnya dia menambahkan, “Tidak akan ada situs social networking jika tidak ada Alexander Graham Bell.” Lagu “Alexander Graham Bell” yang terdapat pada album kompilasi berpengaruh, JKT:SKRG, pun dimainkan. Koor massal dari refrain yang repetitif dan anthemic “…Dan esok kita berdansa…” terdengar di seluruh penjuru ruangan.

The Upstairs juga sempat membawakan “Sing Thru Me”, sebuah lagu dari band punk asal Seattle, The Dehumanizers, yang adalah idola Jimi Multhazam pada masa Sekolah Menengah Atas mereka. Cover version ini dimasukkan pada album Magnet! Magnet! setelah pihak The Upstairs mendapatkan approval dari pihak The Dehumanizers. Sebuah kejadian yang diceritakan dengan penuh semangat oleh Jimi Multhazam tepat sebelum lagu tersebut dimainkan.

Selepas membawakan “Nilai Nilai Nilai”, mungkin lagu The Upstairs yang paling punk, Beni Adhiantoro meninggalkan drumset-nya untuk memainkan bass. Pandu Fathoni pun menukar bass-nya dengan sebuah gitar akustik. “Di Antara Haluan” versi akustik menjadi nomor berikutnya. Setelah itu, “Percakapan”, yang rencananya akan dijadikan single ke 3 untuk album Magnet! Magnet! sebelum backing vocal Dian Maryana menyatakan keluar dari The Upstairs, juga dibawakan secara akustik. Dian Maryana, yang hadir pada malam itu, terlihat turut menyanyikan setiap bait dari lagu tersebut di antara kerumunan penonton. Raut wajah terharu pun tidak dapat ia sembunyikan dari wajahnya.

“Mari kembali disko,” ucap Jimi Multhazam setelah dua nomor akustik yang menyentuh tersebut. Beni Adhiantoro pun kembali duduk di balik drumset-nya dan Pandu Fathoni kembali menggenggam bassnya. Alhasil, sebuah medley yang rapi kembali terjadi di mini konser ini. “Antah Berantah”, “Televisi”, “Modern Bob”, dan “Frustrasi” adalah nomor-nomor yang dibawakan pada medley kedua di malam itu. Penonton semakin menjadi-jadi. Tidak hanya dansa resah, crowdsurfing pun mulai timbul dari kumpulan penonton di bibir panggung. Menariknya lagi, Jimi Multhazam, seperti anak kecil yang tidak mau kalah, turut melakukan crowdsurfing setelah melakukan manuver stagedive di tengah lagu “Modern Bob”. Dia cukup lama melakukan crowdsurfing sebelum akhirnya kembali naik ke atas panggung tepat waktu untuk melantunkan verse terakhir dari “Modern Bob”.

“Digital Video Festival”, “Satelit”, dan “Ekspektasi Nol” sempat dibawakan sebelum The Upstairs kembali membawakan sebuah cover. Kali ini giliran “Rocket Ship Goes By” dari sesama band jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Goodnight Electric, yang The Upstairs reimajinasikan. The Upstairs seperti meminjam aura gelap yang dimiliki The Jesus and Mary Chain pada “Rocket Ship Goes By” versi mereka, terutama karena permainan drum Beni Adhiantoro dan efek gitar Kubil yang menghipnotis. Yang menarik adalah ketika pada akhir lagu, Jimi Multhazam secara gamblang berkata, “To Alfi…” Tentu saja Alfi yang dimaksud di sini adalah Alfi Chaniago, eks-bassist The Upstairs yang telah mengubah namanya menjadi Bani Muhammad Mustar dan lebih memilih untuk merendam dirinya pada kegiatan-kegiatan relijius daripada berhubungan dengan dunia musik.

Dua lagu yang semakin meroketkan nama The Upstairs, “Ku Nobatkan Jadi Fantasi” dan “Disko Darurat” menjadi santapan berikutnya. Namun, yang harus digarisbawahi adalah momen intim yang terjadi di sela dua lagu tersebut. Jimi Multhazam melakukan shout out kepada semua pihak yang pernah menjadi bagian dari The Upstairs. Satu per satu nama disebutkan oleh Jimi Multhazam, dibuka dengan nama-nama para backing vocal yang pernah mengiringi The Upstairs, mantan pemegang instrumen yang pernah singgah di The Upstairs, mantan manajer yang disebut sebagai personil ke 4, semua pihak yang suportif terhadap The Upstairs dari awal sampai sekarang, hingga ditutup dengan, “Petroff di surga…,” ucap Jimi Multhazam seraya mengarahkan telunjuknya ke arah langit. Hendra Petroff sendiri adalah eks-keyboardist The Upstairs yang meninggal pada tahun 2004 dikarenakan serangan jantung yang menimpanya.

“Dansa Akhir Pekan” juga turut dimainkan sebelum lagu yang menjadi pemicu The Upstairs dalam merasakan mainstream success, “Terekam (Tak Pernah Mati)”, berkumandang.

Lagu cinta yang sudah bisa dikatakan legendaris walau baru dirilis pada tahun 2004 dikarenakan liriknya yang unik dan eklektik, “Matraman”, menjadi nomor berikutnya. “Siapa bilang tempat romantis harus candle light dinner berduaan di restoran mahal? Tempat yang biasa dipakai buat tawuran anak SMA di siang hari juga bisa jadi romantis,” begitu kata Jimi Multhazam meringkas isi lirik dari “Matraman”. Koor massal pun kembali terjadi untuk yang kesekian kalinya, namun “Matraman” adalah lagu yang bertanggung jawab atas terjadinya koor massal yang paling masif pada malam itu. Jimi Multhazam pun terkagum-kagum dengan suara yang dihasilkan oleh para penonton setelah dia memberikan aba-aba kepada penonton untuk menyanyikan baris terakhir lagu itu secara serempak yang berbunyi, “…kau di Kota Kembang…” Raut wajahnya seakan tak percaya atas apa yang baru saja didengarnya. Dia langsung bertepuk tangan di atas panggung sebagai bentuk hormat yang diberikannya kepada para penonton.

Sebelum membawakan lagu terakhir, Jimi Multhazam mengumumkan alasan mengapa diadakan mini konser pada malam itu, tentu saja selain karena ulang tahun The Upstairs yang ke 9. “Kami ingin menunjukkan kepada kalian bahwa inilah formasi resmi The Upstairs yang baru,” jelas Jimi Multhazam. Dengan begitu, kata additional yang menempel pada diri Pandu Fathoni dan Krishna Visco, yang pada malam itu mengenakan kacamata dengan lampu berwarna hijau neon di dalam frame-nya, sudah bisa dibuang jauh-jauh.

Jimi Multhazam juga sempat menginformasikan bahwa The Upstairs akan menghajar 2011 dengan sebuah album baru yang akan mulai direkam pada Februari 2011 dengan sang drummer, Beni Adhiantoro, berlaku sebagai produser. Jimi Multhazam berjanji bahwa album tersebut akan menjadi album The Upstairs yang paling “jantan”.

Sebuah lagu baru yang menandakan kembalinya The Upstairs di kancah musik Indonesia dan bisa diunduh secara gratis di Tumblr resmi The Upstairs, “Menaralara”, menjadi lagu penutup Mini Konser 9 Tahun The Upstairs yang sangat intim ini. Kata “jantan” memang tepat untuk mendeskripsikan materi baru tersebut.

Salam perpisahan yang dilakukan secara serempak oleh seluruh personil menjadi tanda bahwa mini konser telah usai. Acara ini memang bertajuk Mini Konser 9 Tahun The Upstairs, namun dampak yang diberikan sangatlah maksimal. Telah disebutkan di atas bahwa raut wajah puas terpampang di wajah para penonton, namun raut wajah dari para personil The Upstairs sendirilah yang menjadi hal terpenting pada malam itu. Mereka terlihat sangat puas dengan apa yang mereka lihat, dengar, dan rasa dari atas panggung. Mereka semakin siap untuk menghajar tahun 2011. The Upstairs masih hidup, dan sepertinya untuk waktu yang sangat lama.

Dan esok kita berdansa…

[Foto oleh Mahdesi Iskandar]

Monday, December 13, 2010

LIPUTAN PANDANGAN MATA HORE#4



H.O.RE#4 EVENT:
H.O.RE & JANGAN MARAH RECORDS mempersembahkan
MINI KONSER 9th THE UPSTAIRS
Band pembuka: Backalley, Dikeroyok Wanita
Pemutaran film dokumentasi The Upstairs selama 9th disutradarai oleh Kubil The Upstairs


Mari berdansa! Acara kali ini memang sangat berbeda. Komposisi 2 band pembuka dan Band Utama yang dirasakan pas. Pas kerennya, pas brengseknya, pas komposisinya. Tidak terlalu manis, tidak terlalu pahit, tidak terlalu berwarna ataupun terlalu hitam.
Kami melaunchingkan Album Matraman yang tidak terasa sudah lebih dari 5 tahun yang lalu. Kali ini kami kembali bekerjasama dengan Jangan Marah Records yang memang telah bersama The Upstairs merencakan acara ini. Akhirnya kami (The Upstairs – Jangan Marah Records – H.O.RE) sepakat untuk melangsungkan acara ini.

Backalley, sudah mendengar nama mereka sejak 2 tahun yang lalu, dan kami selalu mencari waktu yang tepat untuk menampilkan mereka. Materi segar, dan berpenamilan menarik, dan tampak sebagai urban alternative electronic rock. Gak usah terlalu serius atas sebutan ini, tapi kami menangkap esensi itu dari penampilan mereka. Penampilan mereka di urutan awal, banyak menggugah orang – orang untuk berapresiasi lebih sekedar menggoyangkan kepala atau tangan atau kaki. Mereka membawa sesuatu yang dewasa, bagian dari The Upstairs yang memang dewasa. Kita support banget band ini.

Dikeroyok Wanita
. Ya tuhan, mereka mengingatkan kami pada waktu kami SD. Cuma kali ini atasannya adalah hitam. Bercelana selutut merah itulah yang langsung menancap secara visual di otak kami. Menyenangkan, baik materi dan pembawaannya. Cukup tergolong sebagai fatalis. Terlihat para tamu asing bergoyang bahkan ada tamu asing wanita yang mendekat ke vokalis dan bergoyang. Hahaha, buat kami mereka mengingatkan The Upstairs pada saat mereka berwarna warni.

The Upstairs
. Tiba saat giliran mereka. Tidak dibuka oleh MC, melainkan film dokumentasi perjalanan mereka. Mengharukan sekaligus menyenangkan. Kami langsung mengingat beberapa personil seperti Petrof (almarhum), Alfi, Acid, Muthi, Rebeca, Hans, dan lainnya. Kerusuhan, ketotalan seluruh anggota, dan kesembarangannya sang vokalis dalam berorasi, semua serba apa adanya, sampai kepada pertumbuhan mereka hingga kini. Sontak satu ruangan dijejali oleh Modern Darlings. Semua maju seperti tentara, berebut menjadi pasukan garis depan. Siap mati bagi apa yang mereka bela selama ini.
Dua puluh tujuh lagu dibawakan dengan dua lagu versi akustik, dan sembilan lagu dimedley kan adalah sesuatu yang mengejutkan. Semua angkatan merasa mendapat bagian kenangannya dan semua merasa memiliki The Upstairs. Malam itu memang bukan pertunjukan band biasa, tapi malam dimana kita membela lantai dansa dan romansa bersama The Upstairs.


Signing off. Selamat Tahun Baru dan selamat menempuh hidup baru!!!

LIPUTAN PANDANGAN MATA HORE#3




H.O.RE#3 EVENT:
Beatnikk, Kebunku, That’s Rockefeller, Cangkang Serigala, Cemetary Dance Club, Kelelawar Malam

Malam ini beda. Entah kenapa, tapi kami semua merasa lelah sebelum acara ini berjalan. Tapi semangat tetap besar. Pastinya karena pekerjaan kami yang bertubi – tubi, tapi semangat bahwa band yang akan main adalah band yang kami sudah lama tidak kami lihat, ada band baru, dan ada band yang eksis di kalangannya yang kami sangat ingin lihat. Berikut laporan pandangan mata kami serta hasil obrolan kami dengan orang – orang yang datang.

Beatnikk, tampil sebagai band pertama. Dengan vokalis yaitu Mesa (Holly City Rollers), dengan gitar dan beat khas Mesa ketika kami bahas dengan seseorang, maka mampu membuat orang beranjak dari mejanya untuk berdiri, melihat pertunjukan band ini. Tergolong baru, namun ‘menghentak’ dan catchy. Ada pula yang berkomentar bahwa gaya - gaya seperti ‘Artic Monkey’. Tapi buat kami, kami senang melihat semangat, s.o.ul nya.

Kebunku. Salah satu band yang sempat lama vacum, dan telah berganti formasi, kini tampil dengan sedikit ‘kurang semangat’ yang tidak seperti biasanya. Entah apakah karena usia, kesibukan, atau lokasi yang salah (karena sepertinya massa mereka besar di wilayah Jakarta Timur, Utara, dan pusat), tapi tetap dapat membuat orang maju, berkumpul di depan hadapan mereka. Musti dengerin juga album ‘Ga’Brenti!’ mereka, karena mereka telah memberikan hati mereka kepada Marcella Zaliyanti dibandingkan Wulan Guritno kali ini.

That’s Rockefeller
. Termasuk salah satu band yang ditunggu, dan tidak diragukan, membuat sebagian besar orang maju, bergoyang, berdendang, dan dimanterai atas nama rock yang psychedelic, serta dengan substansi permabukan yang natural. Tapi ada sesuatu yang berbeda, beat perkusi dengan penempatan pas – tepat – semakin membuat orang kerajingan. Mereka bergoyang dan berdendang mewakili substansinya. Setelah mereka selesai, sudah sangat cepat kami ingin melihat mereka kembali beraksi lagi, semoga mereka tidak akan berhenti dan memberikan materi yang ajaib di album baru mereka nanti.

Cangkang Serigala. Buat kami mereka ajaib. Kami seperti mendapatkan pencerahan, dan buat kami pertunjukan mereka lebih kepada seni pertunjukan, bukan hanya sebuah tontonan showcase band biasa. Mereka lebih mengingatkan kami terhadap ’performance art’, dan terlintas ingatan kami tentang grup garden of blind. Purba dan mutakhir dapat ditemukan pada saat menonton mereka. Sederhana, menyenangkan, rendah hati, dan sedikit gila, serta mengingatkan saya para performer eksperimental belahan Eropa sana.Didatangkan dari Yogyakarta, dan mereka datang dari kalangan seni. Bagi kami mereka sebuah bentuk pertunjukan musik dengan semangat yang luar biasa. Empat jempol!


Cemetary Dance Club
. Band ini bukanlah band kemarin sore. Musik yang upbeat, darah segar, dan berpartner bersama MacBeth. Buat kami, mereka atraktif, stamina kuat, materi yang menyenangkan ala jaman sekarang, tapi rupanya panggung mereka kali ini jadi sedikit tes mental. Memberikan mereka tantangan untuk bisa membuat orang maju, mendekat dan liar bersama. Ya, para penonton malam ini memang sangat pasif.

Kelelawar Malam
. Young blood, Old soul. Kami sudah mendengar mereka direfrensikan oleh teman – teman kalangan band sejak lama. Hanya baru kali ini, kami baru berkesempatan melihatnya sendiri. Mengagumkan dan menyenangkan. Dan kami memilih lagu Malam Mencekam dari CD mereka yang bertajuk Kelelawar Malam. Hanya kenapa salah satu anggotanya harus memakai wig agar seragam gondrong di barisan depan, hahaha....gak papa lah, namanya juga untuk HORE.

Signing off.

Thursday, December 9, 2010